• Tentang Kami
  • Kontak kami
Jumat, 22-01-2021
Cart / Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

At-Tiqnu Tour and Travel
Advertisement
  • Beranda
  • LEGALITAS
  • Artikel
    • All
    • Berita
    • Bimbingan Umrah
    • Doa dan Dzikir
    • Fikih
    larangan larangan haji dan umrah 1

    Pembatalan Haji Reguler, Mau Tahu Prosesnya?

    Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H

    Kiat Menghadapi Wabah Virus Corona dan Lainnya

    Nasihat untuk Jamaah yang Batal Umrah karena Wabah Corona

    Press Release : Menyikapi Penutupan Umrah karena Virus Corona (COVID-19) Mewabah

    Press Release : Biaya Tambahan Asuransi (per 1 Januari 2020)

    Bagaimana Tatacara Tayammum?

    Kemenag Gelar Sidak Layanan Umrah di Delapan Provinsi

    Ciri ‘Buku Kuning’ Asli, Bukti Suntik Vaksin Meningitis

  • Paket Haji
  • Paket Umrah
  • Toko OnlineOleh-oleh Haji/Umroh, dll
No Result
View All Result
At-Tiqnu Tour and Travel
  • Beranda
  • LEGALITAS
  • Artikel
    • All
    • Berita
    • Bimbingan Umrah
    • Doa dan Dzikir
    • Fikih
    larangan larangan haji dan umrah 1

    Pembatalan Haji Reguler, Mau Tahu Prosesnya?

    Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H

    Kiat Menghadapi Wabah Virus Corona dan Lainnya

    Nasihat untuk Jamaah yang Batal Umrah karena Wabah Corona

    Press Release : Menyikapi Penutupan Umrah karena Virus Corona (COVID-19) Mewabah

    Press Release : Biaya Tambahan Asuransi (per 1 Januari 2020)

    Bagaimana Tatacara Tayammum?

    Kemenag Gelar Sidak Layanan Umrah di Delapan Provinsi

    Ciri ‘Buku Kuning’ Asli, Bukti Suntik Vaksin Meningitis

  • Paket Haji
  • Paket Umrah
  • Toko OnlineOleh-oleh Haji/Umroh, dll
Cart / Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

At-Tiqnu Tour and Travel
No Result
View All Result

Tuntunan Sunnah Ketika Mendengar Adzan

admin by admin
1 Jan 2020
in Adab dan Akhlak Islam, Fikih
12 min read
0
0
SHARES
144
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Ada beberapa perkara yang semestinya dilakukan oleh yang mendengar adzan.

Pertama: Ia mengucapkan semisal yang diucapkan muadzin (menjawab adzan), namun tidak dengan suara keras seperti suaranya muadzin, karena muadzin menyeru/memberitahu orang lain sedangkan dia hanya menjawab muadzin. (Asy-Syarhul Mumti’, 2/83)

ArtikelTerkait

Amalan yang Terus Mengalir

Adab-adab Safar

Bagaimana Tatacara Tayammum?

Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ

“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” (HR. Al-Bukhari no. 611 dan Muslim no. 846)

Ketika muadzin sampai pada pengucapan hay’alatani yaitu kalimat:

حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ،              حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ

disenangi baginya untuk menjawab dengan hauqalah yaitu kalimat :

لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ

sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ أَحَدُكُمُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، فَقاَلَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قَالَ: لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قَالَ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Apabila muadzin mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka salah seorang dari kalian mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Kemudian muadzin mengatakan, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah”, maka dikatakan, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah.” Muadzin mengatakan setelah itu, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, maka dijawab, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah.” Saat muadzin mengatakan, “Hayya ‘Alash Shalah”, maka dikatakan, “La Haula wala Quwwata illa billah.” Saat muadzin mengatakan, “Hayya ‘Alal Falah”, maka dikatakan, “La Haula wala Quwwata illa billah.” Kemudian muadzin berkata, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka si pendengar pun mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Di akhirnya muadzin berkata, “La Ilaaha illallah”, ia pun mengatakan, “La Ilaaha illallah” Bila yang menjawab adzan ini mengatakannya dengan keyakinan hatinya niscaya ia pasti masuk surga.” (HR. Muslim no. 848)

Namun boleh juga dia menjawabnya sebagaimana lafadz muadzin dengan hay’alatani حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang telah kita sebutkan di atas. Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah menyatakan, “Ini termasuk ikhtilaf atau perbedaan yang mubah. Bila seseorang menghendaki maka ia mengucapkan sebagaimana ucapan muadzin, dan kalau mau ia mengucapkan sebagaimana dalam riwayat Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan [1] radhiyallahu ‘anhuma. Yang mana saja ia ucapkan, maka ia benar.” (Al-Ausath, 4/30)

Jawaban Ketika Muadzin Berkata dalam Adzan Subuh “Ash-Shalatu Khairun minan Naum”

Lahiriah dari ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ

“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin,” adalah kita mengucapkan kalimat yang sama dengan muadzin, “Ash-Shalatu khairun minan naum.” Inilah pendapat yang shahih. Adapun menjawabnya dengan:

صَدَقْتَ وَبَرَرْتَ

Artinya: Engkau benar dan engkau telah berbuat baik, adalah pendapat yang lemah tidak bersandar dengan dalil. (Asy-Syarhul Mumti’, 2/92)

Ganjaran Surga bagi yang Menjawab Adzan dengan Yakin

Siapa yang menjawab adzan dengan meyakini apa yang diucapkannya maka dia mendapat janji surga dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:

كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ n فَقَامَ بِلاَلٌ يُنَادِي، فَلَمَّا سَكَتَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: مَنْ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ هَذَا يَقِيْنًا دَخَلَ اْلَجّنَّةَ

Pernah ketika kami sedang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Bilal bangkit untuk menyerukan adzan. Tatkala Bilal diam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang mengucapkan seperti ucapannya muadzin disertai dengan keyakinan maka ia pasti masuk surga.” (HR. An-Nasa’i no. 674, dihasankan Al-Imam Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan An-Nasa’i)

Hukum Menjawab Adzan

Tentang hukum menjawab adzan ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian Hanafiyyah, ahlu zahir, Ibnu Wahb, dan yang lainnya berpendapat wajib menjawab adzan bagi yang mendengar adzan, dengan mengambil lahiriah hadits yang datang dengan lafadz perintah, sedangkan perintah menunjukkan wajib. Adapun jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah, tidak wajib, dengan dalil hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwasanya:

سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: عَلَى الْفِطْرَةِ. ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: خَرَجْتَ مِنَ الناَّرِ

(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) pernah mendengar seseorang yang adzan mengatakan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Rasulullah menjawab, “Dia di atas fithrah.” Kemudian muadzin itu berkata, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah. Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah.” Rasulullah berkata, “Engkau keluar dari neraka.” (HR. Muslim no. 845)

Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan ucapan yang berbeda dengan muadzin, berarti mengikuti ucapan muadzin tidaklah wajib.

Dalil lainnya adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Malik ibnul Huwairits dan teman-temannya radhiyallahu ‘anhum:

فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ

“Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian menyerukan adzan untuk kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengatakan, “Hendaklah orang lain yang mendengarnya mengikuti adzan tersebut.” Seandainya menjawab adzan itu wajib niscaya Nabi n tidak akan menunda keterangannya dari waktu yang dibutuhkan. Karena, ketika itu beliau tengah memberikan pengajaran kepada Malik dan teman-temannya. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram 2/195, Asy-Syarhul Mumti’, 2/82,83)

Al-Imam Malik rahimahullah dalam Al-Muwaththa’ (no. 236), meriwayatkan bahwa Tsa’labah ibnu Abi Malik Al-Qurazhi menyatakan mereka dulunya di zaman ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengerjakan shalat pada hari Jum’at hingga Umar keluar dari rumahnya masuk ke masjid. Bila Umar telah masuk masjid dan duduk di atas mimbar, muadzin pun mengumandangkan adzan. Kata Tsa’labah, “Kami duduk sambil berbincang-bincang. Ketika muadzin telah selesai dari adzannya dan Umar berdiri untuk berkhutbah, kami pun diam mendengarkan. Tak ada seorang dari kami yang berbicara.”

Seandainya menjawab adzan itu wajib niscaya mereka akan mengikuti ucapan muadzin dan tidak berbicara yang lain.

Demikian juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d rahimahullah, dari Musa ibnu Thalhah ibnu Ubaidullah, ia berkata, “Aku melihat Utsman ibnu Affan radhiyallahu ‘anhu berbincang-bincang dengan orang-orang menanyakan dan meminta informasi dari mereka tentang harga dan berita-berita lainnya, padahal ketika itu muadzin sedang menyerukan adzan.” (Sanadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim, Ats-Tsamar 1/180)

Pendapat jumhur inilah yang kami pilih, wallahu ta’ala a‘lam. Akan tetapi yang perlu kita camkan walaupun hukumnya sunnah bukan berarti ketika diserukan adzan –tanpa ada kepentingan ataupun hajat– kemudian ditinggalkan begitu saja dan tidak diamalkan dari menjawabnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ini, wallahul musta’an. (Syarhu Ma’anil Atsar 1/188-189, Al-Muhalla 2/184, Bada’iush Shana’i 1/486, Subulus Salam 2/62, Nailul Authar 1/511)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Sunnah menjawab adzan ini berlaku bagi orang yang di atas thaharah, bagi yang berhadats, orang junub, wanita haid, dan selain mereka, selama tidak ada penghalang untuk menjawabnya, seperti sedang menunaikan hajat di WC, sedang berhubungan intim dengan istrinya, atau sedang mengerjakan shalat.” (Al-Minhaj 4/309 dan Al-Majmu’ 3/125)

Faedah

“Zikir muqayyad memutuskan zikir muthlaq”, walaupun dalam posisi zikir muthlaq tersebut lebih afdal daripada zikir muqayyad. Yang dimaksud zikir muqayyad adalah zikir yang waktunya khusus/tertentu, sedangkan zikir muthlaq tidak ada penentuan waktunya. Sehingga bila engkau mendengar muadzin sementara engkau sedang membaca Al-Qur’an maka yang utama engkau mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin, walaupun engkau harus berhenti dari membaca Al-Qur’an. Karena menjawab adzan ini merupakan zikir muqayyad dengan waktu yang khusus, sedangkan membaca Al-Qur’an tidak memiliki waktu khusus, kapan engkau mau, engkau bisa membacanya [2]. (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, bab Al-Adzan, Mas’alah: Wa Yustahabbu liman Sami’al Muadzdzin An Yaqula kama Yaqulu)

Tidak dibolehkan menjamak/mengumpulkan antara membaca Al-Qur’an dengan menjawab adzan. Karena kalau kita membaca Al-Qur’an, kita akan terlalaikan dari mendengar adzan. Sebaliknya bila kita mengikuti ucapannya muadzin, kita terlalaikan dari membaca Al-Qur’an. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 2/196,197)

Menjawab Adzan Bagi Seseorang Yang Sedang Shalat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Ikhtiyarat (hal. 39) memandang, bagi seorang yang sedang shalat ketika mendengar adzan untuk menjawabnya karena keumuman perintah yang ada di dalam hadits. Juga, menjawab adzan muadzin termasuk zikir yang tidak bertentangan dengan shalat.

Akan tetapi pendapat yang masyhur dalam madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullah dan yang lainnya adalah ia tidak menjawab adzan yang didengarnya. Inilah pendapat yang shahih. Karena adzan merupakan zikir panjang yang dapat membuat orang yang shalat tersibukkan dari shalatnya. Sementara dalam shalat ada kesibukan tersendiri, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ فيِ الصَّلاَةِ لَشُغُلاً

“Sesungguhnya dalam shalat itu ada kesibukan.” (HR. Al-Bukhari no. 1199 dan Muslim no. 1201)

Orang yang sedang shalat disibukkan dengan zikir-zikir shalat.

Beda halnya zikir yang pendek, cuma satu kalimat, misalnya mengucapkan alhamdulillah ketika bersin dalam keadaan ia sedang shalat. Sementara adzan terdiri dari banyak kalimat, yang jelas akan memutus konsentrasi seseorang dari shalatnya karena ia harus diam mendengarkan apa yang diucapkan muadzin untuk kemudian diikutinya. Padahal bila ia shalat bersama imam, tidak sepantasnya ia diam mendengar kecuali terhadap bacaan imam saja. Sehingga pendapat yang shahih adalah orang yang sedang shalat tidak menjawab adzan. (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, bab Al-Adzan, Mas’alah: Wa Yustahabbu liman Sami’al Muadzdzin An Yaqula kama Yaqulu; Asy-Syarhul Mumti’, 2/84)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Madzhab kami yang masyhur adalah dibenci bagi orang shalat mengikuti (menjawab) adzan, sama saja baik shalatnya fardhu ataukah nafilah (sunnah). Demikian pendapat sekelompok salaf. Al-Imam Malik t memiliki tiga pendapat/riwayat dalam masalah ini, salah satunya adalah ia mengikuti muadzin. Pendapat keduanya adalah ia mengikuti/menjawab saat adzan hanya dalam shalat nafilah, namun tidak boleh dalam shalat fardhu.” (Al-Majmu’, 3/127)

Bila Terdengar Beberapa Adzan Dari Beberapa Masjid

Bila terdengar adzan dari beberapa masjid maka adzan manakah yang kita jawab?

Hadits dalam masalah menjawab adzan menyebutkan secara mutlak, “Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” Tidak ada pembatasan muadzin yang pertama atau muadzin yang kesekian, atau muadzin di masjid yang dekat dengan rumah kalian. Berarti menjawab adzan ini berlaku untuk semua adzan yang didengar. Misalnya muadzin di satu masjid adzan, kita menjawabnya sampai selesai adzan tersebut. Lalu terdengar adzan lagi dari masjid yang lain, kita jawab lagi sampai selesai. Demikian seterusnya. Akan tetapi bila adzan-adzan tersebut saling bersusulan (bersahut-sahutan) maka kita meneruskan untuk menjawab adzan yang pertama kali kita jawab sebelum terdengar adzan yang lain. Namun bila ternyata adzan yang belakangan lebih keras dan lebih jelas sehingga adzan yang pertama kita dengar terkadang tertutupi (tidak terdengar), maka kita mengikuti adzan yang kedua. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 2/198-199)

Hukum Berbicara Di Sela-Sela Menjawab Adzan

Tidak ada larangan berbicara di sela-sela menjawab adzan, namun lebih utama ia diam mendengarkan dan menjawabnya. Beda halnya bila ia sedang membaca Al-Qur’an, ia tidak boleh menjawab adzan di sela-sela bacaannya sehingga tercampur antara suatu zikir yang bukan bagian dari Al-Qur’an dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Yang semestinya, ia menghentikan bacaan Al-Qur’annya untuk menjawab adzan. (Fatwa Asy-Syaikh Abdullah ibnu Abdirrahman rahimahullah, seorang alim dari negeri Najd, Ad-Durarus Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah 4/213, 214).

Kedua: Perkara berikutnya yang disunnahkan bagi orang yang mendengar adzan adalah bila selesai menjawab adzan, ia bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan dalil hadits Abdullah ibnu Amr ibnul Ash radhiyallahu ‘anhuma. Ia pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوْا اللهَ لِي الْوَسِيْلَةَ، فَإِنهَّاَ مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ وَأَرْجُوْا أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku, karena siapa yang bershalawat untukku niscaya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian ia meminta kepada Allah al-wasilah atasku, karena al-wasilah ini merupakan sebuah tempat/kedudukan di surga, di mana tidak pantas tempat tersebut dimiliki kecuali untuk seseorang dari hamba Allah dan aku berharap, akulah orangnya. Siapa yang memintakan al-wasilah untukku maka ia pasti beroleh syafaat.” (HR. Muslim no. 847)

Ada beberapa lafadz shalawat, di antaranya yang paling ringkas adalah:

اللُّهَمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَبَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

“Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad. Berilah keberkahan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad. Sebagaimana Engkau bershalawat dan memberikan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” [3]

Adapun yang kita dapati hari ini berupa menyuarakan shalawat yang dilakukan oleh muadzin lewat mikrofon sebelum maupun setelah adzan, maka perbuatan tersebut bid’ah. Tidak pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, maupun seluruh sahabat. Selain itu, ini akan disangka merupakan bagian dari adzan, sementara menambah lafadz adzan tidak diperkenankan dalam syariat. Seandainya itu baik, tentu salaf akan mendahului kita melakukannya dan akan diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 6/89, 90, 109, 110 dan Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/363)

Tidak disyariatkan pula mengucapkan ta’awudz (ucapan a’udzu billahi minasy syaithanir rajim) dan basmalah sebelum adzan, baik bagi muadzin maupun orang yang mendengarkan adzan. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 6/101)

Ketiga: Setelah bershalawat, orang yang mendengar adzan memohon al-wasilah untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan dalil hadits Abdullah ibnu Amr ibnul Ash radhiyallahu ‘anhuma. Adapun doa memohon al-wasilah sebagaimana dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللُّهَمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ؛ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa yang ketika mendengar adzan mengucapkan doa, “Ya Allah! Wahai Rabbnya seruan yang sempurna ini dan shalat yang akan ditegakkan ini, berikanlah kepada Muhammad al-wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah beliau pada tempat yang dipuji (maqam mahmud) yang telah Engkau janjikan kepadanya [4]”, niscaya ia pasti akan beroleh syafaatku pada hari kiamat. (HR. Al-Bukhari no. 614, 4719)

Faedah

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba yang paling besar ubudiyyah (penghambaan/ pengabdian)nya kepada Rabbnya, paling berilmu tentang Rabbnya, paling takut dan paling besar cintanya kepada Rabbnya. Maka kedudukan beliau paling dekat dengan Allah Subhanahu wata’ala, yaitu menempati derajat paling tinggi di surga. Nabi n memerintahkan umat beliau agar memohonkan untuk beliau derajat tinggi tersebut, yang dengan doa itu mereka akan beroleh kedekatan dengan Allah Subhanahu wata’ala dan tambahan iman. Juga Allah Subhanahu wata’ala menakdirkan derajat tersebut untuk beliau dengan sebab-sebab, di antaranya adalah doa umatnya untuk beliau agar mendapatkan derajat tersebut. Memang sepantasnya bagi umat ini mendoakan Nabi mereka, karena mereka bisa mengenal iman dan mengetahui petunjuk melalui tangan beliau. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberikan shalawat dan salam kepada beliau. (Hadil Arwah 1/134)

Keempat: Setelah itu, ia berdoa dengan doa apa saja yang ia inginkan terkait perkara dunia dan akhiratnya, niscaya akan diberikan permintaannya. Tatkala ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الْمُؤَذِّنِيْنَ يُفَضِّلُوْنَنَا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: قُلْ كَمَا يَقُوْلُوْنَ، فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ

“Wahai Rasulullah! Para muadzin melebihi kami.” Rasulullah bersabda, ”Ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan muadzin. Bila engkau telah selesai (menjawab adzan), mintalah niscaya engkau akan diberi.” (HR. Abu Dawud no. 524, hadits ini hasan shahih kata Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

ثِنْتَانِ لاَ تُرُدَّانِ- أَوْ قَلَّمَا تُرَدَّانِ- الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَعِنْدَ الْبَأْسِ حِيْنَ يُلْحِمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا

“Ada dua doa yang tidak ditolak –atau sedikit sekali ditolak– yaitu doa setelah adzan dan doa ketika perang saat sebagian mereka merapat dengan sebagian yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2540, hadits ini dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)

Dikabarkan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa waktu terkabulnya doa adalah antara adzan dan iqamat, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas ibnu Malik radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

إِنَّ الدُّعَاءَ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ فَادْعُوْا

“Sesungguhnya doa di antara adzan dan iqamat tidak ditolak, maka berdoalah kalian.” (HR. Ahmad 3/155, berkata Al-Imam Al-Albani rahimahullah : sanadnya shahih, perawinya rijal shahih selain perawi yang bernama Buraid ibnu Abi Maryam, ia disepakati ketsiqahannya. Ats-Tsamar 1/198)

Saat yang demikian ini merupakan salah satu saat terkabulnya doa dan dibukanya pintu-pintu langit. (Al-Ikmal, 2/253)

Dibolehkan baginya untuk mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, karena mengangkat tangan ketika berdoa adalah perkara yang diizinkan oleh syariat. Ketika berdoa, dia tidak mengeraskan suaranya. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 6/91-92)

Adapun mengusap wajah ketika selesai berdoa, sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah rahimahullah:

إِذَا دَعَوْتَ فَادْعُ اللهَ بِبُطُوْنِ كَفَّيْكَ، وَلاَ تَدْعُ بِظُهُوْرِهِمَا، فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ

“Apabila engkau berdoa, maka berdoalah kepada Allah dengan kedua telapak tanganmu dan jangan berdoa dengan punggung tanganmu. Lalu jika engkau telah selesai, usaplah wajahmu dengan kedua telapak tanganmu.”

Maka hadits ini lemah, karena kelemahan Shalih bin Hassan, seorang perawinya. Dia didhaifkan oleh Al-Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, dan Ad-Daruquthni rahimahumullah. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan tentangnya: “Munkarul hadits.”

Begitu pula hadits lain yang berkaitan mengusap wajah yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dalam sanadnya ada Hammad bin ‘Isa, dia bersendiri dalam meriwayatkan hadits dan dia seorang rawi yang lemah. Sehingga mengusap wajah setelah berdoa tidak benar penukilannya, baik dari sunnah qauliyyah ataupun amaliyyah. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 6/94-95)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

———————————————————–  

[1] Dalam hadits Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Mu’awiyah menjawab ucapan hay’alatani dengan hauqalah.

[2] Contoh yang lain dari penerapan kaidah di atas: ketika mendengar gonggongan anjing dan ringkikan keledai maka yang diajarkan dalam As-Sunnah adalah berta’awudz (meminta perlindungan) kepada Allah Subhanahu wata’ala dari setan. Bila saat itu engkau sedang membaca Al-Qur’an, maka putuskanlah (sejenak) bacaanmu dan berlindunglah kepada Allah Subhanahu wata’ala dari setan yang terkutuk. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 2/197)

[3] Shalawat ini disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ketika para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bagaimana lafadz shalawat, beliau pun mengajarkan lafadz-lafadz ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thahawi rahimahullah (3/75), kata Al-Imam Al-Albani rahimahullah: “Hadits ini sanadnya shahih di atas syarat Muslim.” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, 3/927)

[4] Allah Subhanahu wata’ala menjanjikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membangkitkan beliau pada maqam mahmud ini sebagaimana dalam firman-Nya: “Mudah-mudahan Rabbmu membangkitkanmu pada maqam mahmud/tempat yang dipuji.” (Al-Isra: 79)

Penulis : al Ustadz Abu Ishaq Muslim hafidzhullah | Sumber : Majalah Asy Syariah Vol. V/No. 51/1430 H/2009 hal. 65-70

Tags: adabakhlakdoamendengar adzanshalawat
ShareTweet
Previous Post

Berlomba-lomba Dalam Kebaikan

Next Post

Ciri 'Buku Kuning' Asli, Bukti Suntik Vaksin Meningitis

Related Posts

Adab dan Akhlak Islam

Amalan yang Terus Mengalir

by admin
11 Jan 2020
0

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : إِذَا مَاتَ ابْنَ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ...

Read more

Adab-adab Safar

11 Jan 2020

Bagaimana Tatacara Tayammum?

8 Jan 2020

Berlomba-lomba Dalam Kebaikan

1 Jan 2020
Next Post

Ciri 'Buku Kuning' Asli, Bukti Suntik Vaksin Meningitis

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Yuk, Daftar Haji Khusus PT. AT TIQNU

Daftar Haji KhususDaftar Haji KhususDaftar Haji Khusus

Artikel Popular

  • haji khusus, at tiqnu, haji murah, travel umroh, bantul

    Yuk, Daftar Haji Khusus Kuota Pemerintah bersama PT. AT TIQNU

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • UMROH BACKPACKER AKHIR RAMADHAN 1441 H – START JAKARTA

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Haji Furoda/Mujamalah (Langsung Berangkat)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ciri ‘Buku Kuning’ Asli, Bukti Suntik Vaksin Meningitis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tuntunan Sunnah Ketika Mendengar Adzan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
At-Tiqnu Tour and Travel

At-Tiqnu Tour and Travel melayani pemberangkatan Umroh dan Haji Khusus


Ijin Resmi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dengan SK Menteri Agama No 118 Tahun 2019 (Ijin lama SKMA No. 322 Tahun 2016).

Ijin Resmi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dengan SK Menteri Agama No 775 Tahun 2019.

  • Tentang Kami
  • Paket Haji
  • Paket Umrah
  • Kontak kami

LAYANAN PELANGGAN

Call Center : 0274 376219
WA : +62 818-108-001
Email : [email protected]
Jam Operasional : 09.00 – 16.30 WIB

KANTOR KAMI

Jl. Parang Tritis km. 5.7, Pandes, Bangunharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta
Indonesia

KATEGORI ARTIKEL

  • Adab dan Akhlak Islam
  • Artikel
  • Berita
  • Bimbingan Haji
  • Bimbingan Umrah
  • Doa dan Dzikir
  • FAQ
  • Fikih
  • Layanan Umrah
  • Paket
  • Program Haji
  • Program Khusus
  • Program Umroh
  • Uncategorized

Tags

adab adab bepergian adab safar akhlak amal jariyah Asli BUku Kuning cara tayammum corona COVID-19. doa fikih hasan al basri ibadah kemenag keutamaan shalat masjidil haram Masjid nabawi mendengar adzan Meningistis nasehat penutupan umrah permata salaf shalawat sidak tacara tayammum tayammum ringkas travel berijin umrah Umroh berijin Umroh Jogja Umroh Sunnah wabah

© 2019 Attiqnu - Biro perjalanan Haji dan Umroh | Sitemap

No Result
View All Result
  • Beranda
  • LEGALITAS
  • Artikel
  • Paket Haji
  • Paket Umrah
  • Toko Online

© 2019 Attiqnu - Biro perjalanan Haji dan Umroh | Sitemap

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Open chat
WA kami