Tayammum adalah cara bersuci sebagai pengganti wudhu’ dan mandi. Adapun syarat di perbolehkannya tayammum :
- Tidak mendapatkan air.
- Adanya halangan untuk menggunakan air seperti sakit/khawatir tertimpa mudharat (perkara yang tidak disenangi) pada dirinya apabila dia menggunakan/menyentuh air.
—————————–
Tata Cara Bertayammum
- Berniat,
- Kemudian menepukkan kedua telapak tangan ke tanah,
- Kemudian meniup kedua telapak tangan,
- dan selanjutnya mengusap wajah dan kedua telapak tangan (seluruh bagian telapak tangan termasuk punggungnya).
Sebagaimana dalam hadits bimbingan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Ammar bin Yasir :
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
“Sesungguhnya cukup bagimu melakukan begini : beliau menepukkan kedua telapak tangan beliau ke tanah, kemudian meniup pada kedua telapak tangan itu kemudian mengusap pada wajah dan kedua telapak tangan beliau” (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits tersebut tayammum cukup dengan satu kali tepukan ke tanah dan yang diusap pada tangan hanyalah kedua telapak tangan. Al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya memberi judul bab : at Tayammum lil wajh walkaffain (tayammum dengan wajah dan 2 telapak tangan). Pemberian judul dari al Bukhari ini adalah menunjukkan pemilihan pendapat fiqh beliau bahwa dalam tayammum yang diusap adalah wajah dan telapak tangan saja (tidak sampai siku).
Sedangkan hadits tentang tayammum dua kali tepukan dan usapan hingga siku tangan adalah lemah. Hadits yang menyatakan bahwa tayammum adalah 2 kali tepukan : 1 untuk wajah dan 1 untuk tangan hingga siku :
التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ
“Tayammum itu adalah 2 tepukan. Satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan sampai siku.” (H.R alHakim, adDaruquthny dan alBaihaqy)
Hadits ini dinyatakan mauquf (hanya sampai perbuatan atau ucapan Sahabat Ibnu Umar, bukan sampai kepada Nabi) oleh ad-Daruquthny dan alBaihaqy. Demikian juga alHafidz Ibnu Hajar al-Asqolaany cenderung pada pendapat bahwa hadits ini mauquf bukan marfu’ (sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bulughul Maram).
Hadits ini juga mengandung kelemahan, karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Ali bin Dzhobyaan yang dilemahkan oleh adz-Dzahaby dan alHafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dan Ulama’ yang lain (Lihat Miizaanul I’tidal fii Naqdir Rijaal karya adz-Dzahaby (3/134) dan adDarory alMudhiyyah karya asy-Syaukany (1/64)).
(Dikutip dari buku, “Fiqh Bersuci dan Sholat” karya Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman حفظه الله, Penerbit Cahaya Sunnah)